SELAYANG PANDANG




  Sekilas Sumenep
Sumenep yang sekarang kita diami, ternyata mengandung nilai sejarah yang begitu agung mempesona. Selain sebagai satu-satunya yang memiliki sejarah kerajaan di daerah Madura, Sumenep dalam berbagai zaman mampu mengemban dirinya sebagai wilayah yang penuh potensi. Dari semua yang terjadi di masa lampau, Sumenep sejatinya merupakan wilayah yang penuh dengan keragaman, maka tak salah jika Sumenep dilahirkan dari rahim keragaman.  Keragaman itu dapat kita lihat dari peninggalan keraton Sumenep.
Keraton Sumenep hingga saat ini telah  berumur lebih dari 200 tahun pada tepatnya dibangun pada tahun 1198 H, setelah Panembahan Somala selesai perang dengan Blambangan, dan selesai pada tahun 1200 hijriyah atau 1780 masehi.
Secara umum gaya arsitektural Keraton Sumenep merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Eropa, Arab, dan China. Gaya Eropa tampak pada pilar-pilar dan lekuk ornamennya. Sedangkan gaya China bisa dilihat pada ukiran-ukiran yang menghiasi. Detil ukiran bergambar Burung Hong, yang konon merupakan lambang kemegahan yang disakralkan oleh bangsa China. Ada pula Naga yang melambangkan keperkasaan, beberapa bergambar bunga Delima yang melambangkan kesuburan. Demikian pula pada pilihan warna Merah dan Hijau.
Mesjid Agung Sumenep : Simbol Keagungan dan Kebesaran Sumenep
Salah seorang arsitek pembangunan keraton bernama Law Piango, yang setelah meninggal dikebumikan di sekitar Asta Tinggi, adalah pria berkebangsaan China. Bahkan konon yang mengepalai tukang saat pembangunan keraton adalah orang China, bernama Ka Seng An. Nama itu kemudian dijadikan nama desa dimana dia dulunya tinggal, menjadi desa Kasengan.
Dari namanya sekarang, ternyata Kata Sumenep telah melalui proses metamorphosis yang sangat panjang dan kaya makna. Dalam berbagai cerita dan sejarah, asal usul Sumenep memang berbeda-beda. Tapi itulah sebanarnya kekayaan sejarah Sumenep yang berbeda dengan daerah lain.
Keberadaan Sumenep tidak bisa dilepaskan dari peran dan sosok pendirinya, Arya Wiraraja. Mantan abdi Kerajaan Singosari ini adalah Founding Fathernya Sumenep.  Arya Wiraja dilantik sebagai Adipati pertama Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269, yang sekaligus bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep. Selama dipimpin oleh Arya Wiraja, banyak kemajuan yang dialami kerajaan Sumenep. Pria yang berasal dari desa Nangka Jawa Timur ini memiliki pribadi dan kecakapan/kemampuan yang baik. Arya Wiraja secara umum dikenal sebagai seorang pakar dalam ilmu penasehat/pengatur strategi, analisanya cukup tajam dan terarah. Di tangannya, dasar-dasar pemerintahan dan kemasyarakatan tumbuh dan menjadi cikal bakal petumbuhan Kabupaten Sumenep di masa selanjutnya. Berkat adipati Sumenep pulalah, Kerajaan Majapahit tumbuh menjadi besar dan menjadi cikal bakal lahirnya kepulauan Nusantara hingga saat ini. 

Makna Sumenep
Dari kabar yang berkembang di kalangan masyarakat Kabupaten Sumenep, soal asal usul Nama Sumenep masih terdapat perbedaan dalam memaknainya. Misalnya kalangan kelompok terpelajar dan tinggal di sekitar pusat kabupaten Sumenep, umumnya menyebut dengan kata Sumenep. 
Sedangkan masyarakat yang tinggal di pedesaan, menyebutnya dengan kata “Songennep”. Namun dari sumber Pararaton disebutkan kata  Songennep dikenal atau lahir lebih awal daripada sebutan Sumenep. Pararaton menyebutkan sejumlah bukti antara lain sebutan Songennep lebih banyak dipakai atau dikenal oleh sebagian besar penduduk kabupaten Sumenep. Kemudian,  Pengarang buku sejarah dari Madura R. Werdisastro menggunakan istilah Songennep dalam bukunya yang berjudul  “Babad Songennep”. Meskipun, pada masyarakat pedesaan, kata Sumenep masih sangat awam.
Untuk menyeragamkan penyebutan Sumenep, maka pada ada inisiatif untuk merubah nama Songennep menjadi Sumenep di zaman penjajahan Belanda.Perubahan itu terjadi pada pada permulaan abad XVIII (1705), ketika Belanda  memulai peran dalam menentukan politik kekuasaan pemerintahan di Madura termasuk Sumenep.
Perubahan nama Songennep menjadi Sumenep, antara lain untuk penyesuaian atau kemudahandalam pengucapan agar lebih sesuai dengan aksen Belanda. Bagi mereka lebih mudah mengucapkan Sumenep daripada melafalkan Songennep. Selain itu, perubahan nama juga untuk menanamkan pengaruh kekuasaan Belanda terhadap Masyarakat Sumenep, sama seperti perubahan nama Jayakarta menjadi Batavia.
Secara etimologis, kata Songennep adalah nama asal pada masa kuno. yaitu :Song berarti relung, geronggang (bahasa Kawi), Ennep berarti mengendap (tenang). Jadi, Songennep berarti lembah bekas endapan yang tenang. Selain itu ada juga yang mengartiikan bahwa  Song berarti sejuk, rindang, payung. Ennep berarti mengendap (tenang). Jadi, Songennep berarti lembah endapan yang sejuk dan rindang. Arti yang kata lainnya juga menyebutkan bahwa  Song berarti relung atau cekungan. Ennep berarti tenang. Jadi, Songennep berarti lembah, cekungan yang tenang atau sama dengan pelabuhan yang tenang.
Dalam masyarakat Sumenep sendiri juga berkembang pengertian Songennep dibagi menjadi Moso ngenep. Moso dalam bahasa Madura berarti lawan atau musuh, Ngenep berarti bermalam. Jadi, Songennep berarti lawan atau musuh menginap atau bermalam. Cerita mengenai asal-usul nama “Songennep” berdasarkan versi ini sangat popular di lingkungan masyarakat Sumenep. Cerita atau pendapat ini dihubungkan dengan suatu peristiwa bersejarah di Sumenep tahun 1750, yaitu saat diserangnya dan didudukinya keraton Sumenep oleh Ke Lesap yang berhasil menaklukkan Sumenep dan selama 1/2 bulan tinggal di keraton Sumenep. Karena peristiwa tersebut, maka dinamakan Moso Ngenep yang artinya musuh bermalam. 
Meski demikian, pengartian Moso Nginep dinilai tidak benar, sebab kitab Pararaton  yang ditulis tahun 1475-1485 sudah menuliskan nama Songennep. Ini berarti nama Songennep sudah lahir sebelum Ke Lesap menyerang Sumenep.
Tari Muang Sangkal : Simbol keragaman Budaya Sumenep
Kitab itu menyatakan bahwa, Songennep berasal dari kata-kata Ingsun Ngenep.Ingsun artinya saya, sedangkan Nginep artinya bermalam. Jadi Songennep berarti saya bermalam. Pendapat ini kurang popular di kalangan rakyat dibandingkan dengan versi lainnya. Ada orang yang menghubungkan dengan peristiwa ini dengan kejadian 700 tahun yang lalu, ketika Raden Wijaya mengungsi ke Madura akibat dikejar-kejar Jayakatwang.
Saat itu Kadipaten Sumenep berada dibawah kekuasaan Kerajaan Singosari, dengan penguasanya Raja Kertanegara. Dengan demikian Arya Wiraraja dilantik oleh Raja Kertanegara, sehingga sumber prasasti yang berhubungan dengan Raja Kertanegara dijadikan rujukan bagi penetapan Hari Jadi Kabupaten . Sumber prasasti yang dapat dijadikan sebagai rujukan adalah prasasti antara lain, Prasasti Mua Manurung dari Raja Wisnuwardhana berangkat tahun 1255 M,  Prasasti Kranggan (Sengguruh) dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1356 M, Prasasti Pakis Wetan dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1267 M,  Prasasti Sarwadharma dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1269 M.
Sedangkan sumber naskah (manuskrip) yang digunakan untuk menelusuri lebih lanjut tokoh Arya Wiraraja, antara lain Naskah Nagakertagama karya Rakawi Prapanca pada tahun 1365 M,  Naskah Peraraton di tulis ulang tahun 1631 M,  Kidung Harsa Wijaya,  Kidung Ranggalawe, Kidung Pamancangan,  Kidung Panji Wijayakramah,  Kidung Sorandaka.
Dari sumber sejarah tersebut, maka sumber sejarah Prasasti Sarwadharma yang lengkapnya berangkat tahun 31 Oktober 1269 M, merupakan sejarah yang sangat signifikan dan jelas menyebutkan bahwa saat itu Raja Kertanegara telah menjadi Raja Singosari yang berdaulat penuh dan berhak mengangkat seorang Adipati.
Prasasti Sarwadharma dari Raja Kertanegara di Desa Penampihan lereng barat Gunung Wilis Kediri. Prasasti ini tidak lagi menyebut perkataan makamanggalya atau dibawah pengawasan. Artinya saat itu Raja Kertanegara telah berkuasa penuh, dan tidak lagi dibawah pengawasan ayahandanya Raja Wisnuwardhana telah meninggal tahun 1268 M.
Prasasti Sarwadharma berisi penetapan daerah menjadi daerah suatantra (berhak mengurus dirinya sendiri) dan lepas dari pengawasan wilayah thani bala (nama wilayah/daerah saat itu di Singosari). Sehingga daerah swatantra tersebut, yaitu daerah Sang Hyang Sarwadharma tidak lagi diwajibkan membayar bermacam-macam pajak, pungutan dan iuran.
Atas dasar fakta sejarah ini maka pelantikan Arya Wiraraja ditetapkan tanggal 31 Oktober 1269 M, dan peristiwa itu dijadikan rujukan yang sangat kuat untuk menetapkan Hari Jadi Kabupaten  Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269 M, yang diperingati pada setiap tahun dengan berbagai macam peristiwa seni budaya, seperti prosesi Arya Wiraraja dan rekan seni Budaya Hari Jadi Kabupaten Sumenep.

Peninggalan yang mengagumkan
                Dalam sejarah perkembangan raja-raja Sumenep, terlihat secara nyata berbagai peningggalan monumental yang sampai saat ini masih ada, menjadi saksi kejayaan Sumenep era lampau. Peninggalan yang patut dijadikan sebagai bangunan inspirasi mengisi masa depan Sumenep.
                Pada masa pemerintahan Tumenggung Anggadipura, beliau membawa perubahan yang sangat berarti bagi perkembangan agama Islam di wilayah Sumenep. Perubahan tahun saka yang berdasarkan peredaran matahari menjadi tahun jawa berdasarkan kalender Hijriyah yang dipergunakan umat Islam diterapkan di Sumenep, mendapatkan respon positif. Sebagai tanda kepedulian terhadap perkembangan agama Islam beliau juga mendirikan masegit laju atau mesjid laju, yang sampai sekarang masih tetap ada. Mesjid itu pada akhirnya menjadi cikal bakal terus berkembangnya pendidikan non formal bagi masyarakat khususnya mengenai dasar-dasar pengetahuan agama serta merupakan bagian integral dari pendidikan pesantren.
                Pada masa pemerintahan Pangeran Natakusuma I atau Panembahan Sumolo, bisa dibilang mencapai puncak keemasan, Panembahan Sumolo telah membangun bangunan yang sangat monumental Seperti Keraton Sumenep, Mesjid Agung Sumenep dan makam asta tinggi ini. 
Asta Tinggi : Disinilah Raja-raja Sumenep dikebumikan
                Pada Masa Pemerintahan Pangeran Yudanegara, Seni dan Budaya tumbuh di Kabupaten Sumenep. Beliau tidak segan-segan memanggil para ahli di bidangnya masing-masing untuk memajukan wilayah Sumenep dalam berbagai hal. Selain itu, beliau dikenal sangat arif dan bijaksana sehingga tidak mau menerima laporan dari bawahannya yang hanya bersifat isu atau da mengarah kepada fitnah.
                Pada masa Sultan Abdurrahman Pakunataningrat keadaan Kabupaten Sumenep sangat makmur dan sentosa. Ada Pemetaan wilayah ke-adipati-an, pengembangan seni ukir-ukiran, usaha pembuatan perahu digalakkan, bahkan juga membuat kapal-kapal perang. Karena tingkat kesejahteraan cukup tinggi, sebagian rakyat bahkan sudah dapat membangun rumah-rumah dari tembok beratapkan genteng atau seng. Salah satu peninggalannya yang masih tetap ada adalah Al-Quran tulisan tangan Sultan Abdurrahman yang masih tersimpan di Musesum Sumenep.
                Selain itu, pada saat itu adipati-adipati bahkan rakyat gampang di adu domba oleh Belanda lewat politik Devide Et Empera atau politik belah bambu. Menghadapi itu Sultan Abdurrahman yang juga sangat terkenal sebagai negarawan dan ilmuwan melawan politik belah bambu-nya Belanda dengan “Politik Ajala Sotra”. Yakni sejenis taktik atau siasat yang dilakukan dengan tidak tergesa-gesa, tapi harus secara halus, dan hati-hati, kalau tidak maka akan berbahaya bagi dirinya dan rakyatnya sendiri. Ini juga yang menjadi landasan beliau memerintah Kabupaten Sumenep, bahwa perubahan itu harus secara teratur, pelan-pelan dan tidak harus terburu-buru tapi harus berjalan secara kontinyu.